Negara Pengelola Perubahan Ekonomi
Oleh: Marissa Haque & Ikang Fawzi (FEB, UGM, 2011)
I. Pilihan Sistem Ekonomi
Dalam masa tiga dekade akhir-akhir ini, banyak negara di dunia dari level domestik sampai dengan global mengalami perubahan signifikan gaya kepemimpinan ekonomi. Termasuk Indonesia juga didalamnya. Dimana perubahan drastis pada strata: (1)mikro; (2) mezzo; (3) makro secara berkelanjutan terus bermetamorfosa. Beradaptasi terhadap beberapa faktor eksternal sekaligua internal tak terkendali, semisal terhadap: (1) liberalisasi ekonomi; (2) perkembangan dunia IT dan ITC; (3) modernisasi moda transportasip (4) kompleksitas intitusi keuangan dan perbankan; (5)tuntutan consumers. Indonesia sendiri sebagai salah satu negara yang masih berkembang di dunia ini, selalu dengan karakter kenegaraannya yang diduga senang bermain dalam wilayah ‘quasi’ (abu-abu.[1] Tidak pernah secara jelas dan nyata menyatakan diri sebagai negara sos-dem (sosialis demokratik) seperti apa yang termaktub didalam ruh ideologi NKRI yaitu Pancasila, namun juga berbentuk sebuah negara liberal malu-malu, namun dalam praktik lebih ekstrim dari negara liberal asalnya yaitu Amreika Serikat.
II. Lapis Perubahan Ekonomi
Beberapa periode dalam perjalanan NKRI sebagai sebuah bangsa dan negara, mengalami perubahan leadership (style dalam kepemimpinan), termasuk didalamnya masalah economic leadership. Pada masa pemerintahan Orba (orde baru), tidak dapat dipungkiri bahawasanya praktik monopopi serta oligopoli mendominasi perjalanan perekonomian Indonesia, diduga tanpa mempedulikan: (1) daya saing ekonomi jadi semakin rendah; (2) akses bagi sebagian besar pelaku ekonomi jadi tertutup; dan (3) konsumen yang selalu dirugikan karena tak ada kontrol mekanisme persaingan pasar yang biasanya menguntungkan konsumen dari harga murah serta inovasi produk yang semakin beragam. Tiga lapis perubahan economic leadership style yang terjadi di Indonesia sampai dengan hari ini, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(1) Lapis Pertama Tingkat Makro
Pada dekade tahun 1980-an, tepatnya pada masa antara tahun 1983-1988, terjadi lompatan perubahan ekonomi ditingkat makro. Yaitu saat dilakukannya deregulasi pada bidang sektor keuangan. Lalu perkembangan sektor perbankan dan pasar modal yang langsung terpengaruh dimana menjadi sebuah penanda penting/petunjuk awal atas dampak dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Output deregulasi serta liberalisasi yang terjadi disusul oleh sektor riil dan perdagangan berpengaruh langsung serta signifikan terhadap hidup-matinya seluruh kegiatan perekonomian Indonesia —termasuk consumer behavior/perilaku perekonomian rumah tangga Indonesia yang terjadi sebagai dampak langsung implementasi kebijakan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Secara lebih rinci perubahan the economic leadership pada strata ekonomi makro Indonesia saat itu dengan dikeluarkannya PP No. 20 Tahun 1994 tentang Kepemilikan Saham dan PMA (penanam modal asing), dimana Peraturan Pemerintah ini secara bebas memberikan sejenis keleluasaan penuh kepada pihak asing untuk dapat menerobos seluruh sudut ruang perekonomian dalam negeri Indonesia;
(2) Lapis Kedua Tingkat Mezzo
Desentralisasi pada strata masa tersebut di Indonesia , merupakan sebuah disain manajemen pembangunan politik-ekonomi NKRI. Dimana pada hari-hari belakangan ini masyarakat Indonesia mengenalnya dengan nama Otda (Otonomi Daerah) sebagai anti-thesis dari konsep sebelumnya yang didanggap padat kepentingan sentralisasi politik dalam negeri dari ‘partai kuat tertentu’ saat itu. Desentralisasi ekonomi dianggap sebagai jawaban cerdas bagi beberapa hipotesa yang selama masa 32 tahun sebelumnya dianggap terkubur, yaitu: (a) apakah mungkin sentralisasi ekonomi masa sebelumnya mampu untuk mengurus beragam politik ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia; (b) apakah ekonomi-bisnis model yang ada selama masa sebelumnya dapat mengurangi distorsi kesenjangan kepentingan pusat-daerah terkait dengan rumusan kebijakan; dan (3) apakah sebaiknya model desentralisasi ini teap dikembangkan sertya dijalankan sekalipun resiko separatisme menjadi niscaya;
(3) Lapis Ketiga Tingkat Mikro
Dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan ruang bagi para pelaku ekonomi mikro—UKM dan UMKM termasuk BMT (baitul maal wa tamwil/berbasil syariah non-bank)—menjadi mungkin untuk tumbuh serta berkembang. Dimana sebelumnya para pelaku ekonomi Indonesia secara distortif hanya terpaku apda pangsa papan atas elite pengusaha tertentu yang dekat dengan penguasa/pemerintah pusat saat itu. Perubahan dari sistem politik-ekonomi yang terjadi di strata ini diharapkan menjadi semacam terapi mujarab bagi disain baru menuju arah persaingan sehat yang membuat seluruh pelaku ekonomi memiliki akses serta peluang sama dalam turut serta menjalankan roda perekonomian nasional. Diharapakan pada akhirnya meningkatkan taraf kesejahteraan dan HDI (human development index) penduduk Indonesia ;
III. Masalah Klasik Kelembagaan
Transformasi dan metamorfosa yang terjadi dalam sistem ekonomi-bisnis-industri tersebut, ternyata sama sekali tidak menyentuh birokrasi dalam sistem pemerintahan Indonesia/seluruh departemen teknis maupun departemen non-portofolio/non-teknis.[2] Yang diduga terlupakan disaat eforia reformasi kemarin digulirkan oleh para pencetusnya,[3] bahwa setiap masa transisi reformasi wajib juga membidik reformasi birokrasi yang ada pada sebuah negara/pemerintahan, baik itu sebagai prinsipal maupun sebagai agennya. Karena pada dasarnya, sebuah jajaran birokrasi dibentuk oleh penguasa negara dimasa pemerintahannya berkuasa. Yang dicirikan memiliki spirit karakter embeded sebagai: (1) pemilik dari kekuasaan; (2) peminta rente; dan (3) penjual regulasi. Sehingga biar sekalipun reformasi gergulir sangat kuat disuatu masa, namun para birokrat dalam jajaran birokrasi pemerintahan tersebut “tetap solid memegang kendali” pemerintahan. Jika sebuah kebijakan baru digulirkan, regulasi biasanya terpenggal ditengah jalan karena kedodoran dalam kelembagaannya.[4] Bila sebuah penelitian dijalankan untuk mengatahui masalah yang timbul, maka unit analisis yang biasa dipakai pemerintah masih ‘sebatas institusinya’/kementrian itu sendiri dan bukan “kebijakan” itu sendiri, sehingga dilapangan tampak nyata bahwa strategi pengelolaan perubahan ekonomi-politik-hukum tidak tidak pernah solid-kreatif namun tetap ‘primitif’ sebagaimana sediakala.
IV. Solusi dari Ikang dan Marissa
Dalam setiap kebijakan yang dibuat, alangkah baiknya bilamana: (1) diteruskan dengan SOP (standard operation procedure)/”aturan main” atau rule of law yang rigid/ketat dari kelembagaan yang berperan sebagai tatakelolanya; (2) pendekatan dari Teori Amitai Etzioni dapat dipertimbangkan untuk diimplementasikan dalam jagka waktu yang disepakati[5]; (3) memberlakukan memberlakukan KPI (key performance indicator) bagi penilaian kinerja seluruh PNS tanpa terkecuali, dan (4) penghargaan didasarkan pada merit based system/jasa keberhasilan kontribusi PNS/birokrat kepada institusi ditempatnya bekerja.
[1] Denny Indrayana menyatakan dalam bukunya “Indonesia Negara Mafioso” bahwa Indonesia adalah
bentuk sebuah negara quasi yang berarti neither fish or meat (bukan ikan atau daging)/banci.
[2] Eep Saefullah Fatah (2010) pengamat politik dari FISIP-UI didalam salah satu wawancaranya di Metro
TV mengatakan bahwa birokrasi Indonesia dimasa Orba (Orde Baru) lalu, merupakan ‘perpanjangan
tangan’ partai politik dari pemerintah berkuasa saat itu didalam administrasi negara. Dimana setiap
PNS/Korpri wajib mencontreng untuk Golkar dilam setiap masa Pemilu berlangsung
[3] Ide Otda (Otonomi Daaerah) pertama kali digaungkan oleh Prof.Dr. Ryas Rasyid
[4] Ahmad Erani Yustika adalah Direktur Eksekutif INDEF dan seorang dosen Departemen Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya Malang dalam sebuah wawancara di JTV Surabaya September 2010
[5] Amitai Etzioni adalah seorang ekonom dari Amerika Serikat yang meperkenalkan pendekatan afeksi-renumerasi-coersion/law enforcement